15 Mei 2015

Sebuah Eulogi untuk Buddha

Cahaya harapan muncul di Asia,
di Lumbini saat purnama di bulan Vesakha,
Yang lahir dalam wujud pangeran manusia,
Yang kelak menuntun manusia lepas dari derita.

Dialah Siddhattha Gotama pangeran dari para Sakya,
alih-alih bergelimang harta dan wanita,
Ia rela melepas mahkota dan tahta,
menjadi petapa menahan sakit dan derita.

Dari Vajji hingga ke Magadha,
dari Alara Kalama hingga Uddaka Ramaputta,
Dia mencari jalan untuk padamnya dukkha,
bagi semua makhkuk di alam semesta.

Berbekal paramita dan tekad baja di Bodh Gaya,
Petapa Gotama bersamadhi di bawah pohon Bodhi,
mengalahkan hawa nafsu dalam cerminan Mara,
hingga mencapai Anuttara Samma-sambodhi.

Dialah penakluk dari para penakluk,
Yang menaklukkan diri-Nya dan Tiloka,
tanpa harus menebar perang dan kutuk,
tapi dengan cinta kasih untuk semua.

Dia bukan tuhan atau utusan siapa pun,
yang memerintahkan larangan itu dan ini,
yang menghukum tanpa kasih dan ampun,
memperlihatkan arogansi kekuasaan ilahi.

Tapi Dialah Guru para tuhan dan manusia,
Yang mengajarkan kasih dan pengampunan,
Yang menunjukkan jalan terbebasnya dukkha,
tanpa harus menggunakan siksa dan paksaan.

Buddha telah temukan Dhamma yang indah,
Jalan Suci yang telah lama ditinggalkan,
menuntun mereka yang telah kehilangan arah,
untuk kembali ke jalan yang membebaskan.

Setiap orang diundang untuk melihat Dhamma,
tanpa harus percaya membuta,
tanpa ada kesaksian palsu dan intimidasi,
hanya perlu membuktikannya sendiri.

Dari paria hingga brahmana,
dari yang miskin hingga yang kaya,
tak berbeda dalam melaksanakan Dhamma,
tergabung dalam kehidupan suci Sangha Arya,

Lengkap sudah Tiga Permata Mulia,
cahaya penerang gelapnya dunia,
pelindung bagi para pelaksana Dhamma,
penuntun jalan menuju Nibbana.

Usai sudah tugas Gotama Muni,
mendidik dan mengajarkan Ajaran Murni,
segala beban telah diletakkan-Nya,
kini Dhamma dan Vinaya sebagai pengganti-Nya.

Meskipun Buddha telah parinibbana di Kusinara,
namun ajaran-Nya tetap membahana,
yang dapat menjadikan kita pulau bagi diri sendiri,
hingga tidak tenggelam di samudra dukkha dunia ini.

Dunia berhutang budi abadi kepada-Nya,
karena telah mengubah wajah dunia,
dengan cinta kasih dan kebijaksanaan-Nya,
dengan pengabdian-Nya yang tiada tara.

Bukan dengan ucapan terima kasih,
bukan pula dengan pujian untuk membalas budi-Nya,
namun menjadi cahaya harapan dunia dalam kasih,
dengan senantiasa mempraktikan Dhamma ajaran-Nya.
 
(©atimus150515)